Lebaran Dan Pandemi KAPITALISME, Hari Pembebasan Yang Tidak Terbebaskan

.Ditulis oleh : Rd. Anggi Triana Ismail (Santri Paguyuban Pencari Ridhlo Gusti Allah)

Idul Fitri merupakan salah satu momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia, dianggap penting karena Idul Fitri sebagai titik revitalisasi manusia kembali ke fitrahnya. Setelah sebelumnya telah melalui proses pensucian diri lewat ibadah shiyam atau biasa disebut puasa yang dilakukan selama satu bulan lamanya. Secara harfiah arti puasa adalah berpantang sepenuhnya dari makanan, minuman, hingga nafsu, mulai sebelum fajar hingga matahari terbenam. Dan puasa merupakan salah satu item dari rukun islam yakni yang keempat (sebelum “naik haji” dan sesudah “zakat”), dari hal tersebut sudah barang tentu puasa adalah sebuah perintah bagi umat islam.“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)
Setelah adanya menjalankan puasa Ramadhan selama satu bulan lamanya, umat islam akan meraih kejutannya yakni di hari raya idul fitri atau lebaran yang biasa dikenal. Lebaran sendiri merupakan petanda jika ibadah puasa sudah berakhir dan umat islam kembali fitrah (suci) layaknya bayi baru lahir.Namun pemahaman atas esensi dari lebaran itu sendiri kian terkikis, banyak dari umat islam yang memaknai lebaran dari sisi lahiriah belaka, hal itu bisa dilihat dengan kasat mata oleh adanya suatu budaya konsumtif dalam penyambutan hari raya Idul Fitri, perayaan ini justru di isi dengan pemenuhan kebutuhan sekunder sampai kepada kebutuhan tersier secara berlebihan seperti misalnya selalu memperbarui pakaian hingga kendaraan.
Dari mana lahirnya budaya konsumtif yang merusak esensi “Hari Pembebasan” Idul Fitri?
Masyarakat konsumtif tidak lahir secara alami namun mereka diciptakan oleh sebagian pihak yang disebut “Gerakan kapitalisme global” dengan metode sistem globalisasi. Nampaknya, teknologi tersebut memang seolah memberikan banyak perubahan baru atas peradaban manusia.Peningkatan teknologi yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi di berbagai belahan dunia hingga mesin yang mempercepat proses produksi seperti tanda kemajuan zaman saat ini yang semakin pesat. Tapi “apakah kita sadar bahwa proses homogenisasi yang terjadi di era globalisasi hanya sebatas ilusi?” Dikatakan ilusi karena saat ini faktanya solidaritas persatuan manusia hanya sebatas slogan semata, ketimpangan ekonomi yang terjal antar bumi bagian utara (sebagai pemodal) dan selatan (sebagai buruh dan tani) terjadi begitu signifikan.
Mulai dari sinilah lahirnya budaya konsumtif, perkembangan kapitalisme global tentu membutuhkan pasar untuk mendukung kemajuan mereka. “Siapa yang mengatakan pasar tersebut?”mereka lah masyarakat konsumtif yang terus menerus menghasilkan hasil produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumtif atau konsumen ini memang dibentuk mulai dari kerangka logika nya (mindset) untuk hidup dengan tujuan terus menerus melakukan konsumsi. “Mengapa demikian?” Karena mereka menganggap dibalik suatu komoditi terdapat nilai eksistensi sosial yang sangat penting, maksudnya adalah hasil produksi (atau barang) akan menambah derajat(SN)

TERKINI LAINNYA