Jakarta | Suaranusantara.net – Perusahaan perkebunan Kelapa Sawit PT Agro Muara Rupit (PT AMR) yang tanpa ada perbuatan mengganti kerugian langsung menggusur, menduduki, mengelola, menanami, dan menguasai bidang tanah kebun Karet produktif seluas 8,34 ha milik Muhammad Syafik yang berada di dalam areal Izin Lokasinya untuk dijadikan sebagai lahan usaha perkebunan, murni berunsur pidana Pasal 107 huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang berbunyi :
“Setiap Orang secara tidak sah yang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah Masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 4 (empat) milyar,” Demikian tegas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Lembaga Monitoring Hukum Dan Keuangan Negara (LMHKN) Joey Nicolas Lawalata saat awak media meminta pendapatnya terkait adanya peristiwa perbuatan perusahaan perkebunan Kelapa Sawit PT AMR yang dalam memperoleh tanah untuk usaha perkebunannya melalui cara menggusur paksa tanah masyarakat di dalam areal izin lokasinya tanpa pengganti rugian tanah lagi.
Dijelaskan oleh Joey, panggilan akrabnya, ketentuan sanksi pidana Pasal 107 huruf b tersebut adalah merupakan sanksi untuk setiap orang (tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat) yang melanggar ketentuan larangan dalam peraturan Pasal 55 huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang berbunyi : “Setiap Orang secara tidak sah dilarang : mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah Masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;”
Maka, jika PT AMR ingin termasuk menjadi “orang yang sah” supaya dibolehkan mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah Masyarakat sehingga sanksi Pidana Pasal 107 huruf b dikecualikan terhadapnya, maka PT AMR harus melakukan ganti kerugian sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Pasal ayat (2), Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 Tentang IZIN LOKASI, yang mengamanatkan bahwa :
“(2) Setelah Izin Lokasi berlaku secara efektif, Pelaku Usaha diizinkan untuk membebaskan tanah dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dan dalam ketentuan peraturan yang mencabut Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Izin Lokasi tersebut, yaitu Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Keseuaian Kegiatan Pemanfatan Ruang Dan Sinkronisasi Program Pemanfatan Ruang, pada Pasal 39 ayat (1) juga berbunyi :
“(1) Setelah diterbitkannya KKPR yang belum memperoleh tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), pemegang KKPR harus membebaskan tanah dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Dengan memegang ketentuan peraturan dan sanksi dalam UU Perkebunan dan UU Pertanahan tentang Izin Lokasi atau sekarang yang telah diganti menjadi Izin KKPR sebagai instrumen hukum pelaksanaan Usaha Perkebunan, maka saya menghimbau sekali agar PT AMR segera memenuhi perintah Undang-Undang untuk melakukan ganti kerugian berdasarkan kesepakatan kepada warga masyarakat anggota kesatuan masyarakat ulayat hukum adat yang tanahnya dipakai sebagian atau seluruhnya untuk lahan usaha perkebunan PT AMR”, ujar Joey.
Diakhir wawancara, dia juga menghimbau kepada Kantor Pertanahan Kab. Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap cara memperoleh tanah yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan, termasuk juga percepatan penyelesaian masalah tanah yang ditimbulkan dari proses pelaku usaha dalam memperoleh tanah untuk usaha perkebunannya, kiranya dapat memberikan jaminan keadilan, perlindungan dan kepastian hukum kepada warga masyarakat Pemegang hak atas tanah yang sebagian atau seluruhnya dipakai oleh PT AMR untuk usaha perkebunannya. (SN)